Koridor depan SMA 18 Mojokerto pada waktu
istirahat cukup ramai oleh para siswa yang bersendau gurau dan mengobrol ria
dengan teman mereka masing-masing. Aku berjalan santai sambil melafadzkan
dzikir menuju ke kantin latansa. Langkahku terhenti sejenak ketika kudengar
suara yang kuyakini milik Lita, Ratu SMA 18, memanggil, “Hai Kevin!” dan tanpa
menoleh ke sumber suara aku mengambil langkah seribu dan sampai di kantin
dengan ekspresi seperti orang yang dikejar-kejar setan. Andi yang duduk
disampingku bertanya, ”Ada apa Vin?” nafasku yang masih Senin-Kamis belum mampu
menjawab, ”Pasti digoda cewek-cewek genit itu ya!” lanjut Andi karena sudah
tahu kebiasaanku dan aku cuma bisa mengangguk ya.
* * *
Namaku Muhammad Kevin, Ketua Rohis di-SMA
18 Mojokerto. kejadian di atas merupakan hal yang sangat biasa terjadi dalam
hidupku. Hampir seluruh cewek di sekolahku tahu hal itu, sebagian dari mereka
mencoba mendekatiku untuk menggodaku atau sekadar berusaha untuk menyentuhku,
aku pasti langsung ngacir kabur meninggalkan wajah-wajah yang kecewa atau puas
dengan reaksi dariku.
Kejadian di atas masih mendingan jika
dibandingkan dengan saat pertama kalinya rapat Rohis diadakan setelah aku
dilantik menjadi ketua perkumpulan pelajar yang ingin memajukan islam di
sekolah kami. Susunan ruang rapat yang belum pernah berubah sejak pertama kali
dipakai oleh Rohis generasi pertama, dimana tempat duduk wakil ketua
berdampingan dengan ketua, harus rela berubah tatanannya menempatkan kursi
wakil ketua agak jauh karena wakilku adalah cewek, Lutfia Elyawati. Meskipun
Lutfia merupakan anak seorang ustadz dan tidak mungkin melakukan hal yang
macam-macam, tetap saja aku menginginkan agar dia menjaga jarak dariku.
Sikap aneh itu oleh teman-temanku disebut
dengan sindrom takut cewek atau lebih kerennya girlphobia, aku tak ambil pusing
dengan julukan itu karena, meskipun mereka memujiku atau malah menghinaku,
tidak akan mengubah sikapku yang anticewek.
* * *
“Vin, kamu tu kenapa sih kok takut banget
sama yang namanya cewek?” Tanya Ahmad saat belajar kelompok di rumahku. Aku
yang sedang mengerjakan soal-soal matematika tidak menjawab pertanyaannya.
“Emangnya cewek-cewek di sekolah kita
ngelakuin apa aja sama kamu?” Ahmad bertanya lagi dengan intensitas yang lebih
tinggi karena masih penasaran dan aku lagi-lagi tidak menjawab karena masih
sibuk dengan soal trigonometrinya Pak Suntoro, guru baik yang bisa menjadi
killer bila ada perintahnya yang tidak dikerjakan.
“Eh Kevin! Orang tanya baik-baik kok malah
diacuhin!” ujar Ahmad setelah batas kesabarannya hampir terlampaui.
Setelah kututup buku tulis dan kurapikan
alat-alat tulisku, kujawab pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan, ”Kamu tahu
bahwa setiap orang punya prinsip yang tidak dapat diganggu-gugat".
Setelah berpikir sejenak Ahmad menjawab,
”Ya, aku tahu itu, tapi hubungannya apa?” dengan tarikan nafas yang cukup
panjang kujawab, “Prinsipku adalah tidak berdekat-dekatan dengan cewek karena
takut akan bahaya zina".
“Lho, emangnya berdekatan dengan cewek
sudah disebut zina ya?” sambut Ahmad, “Perasaan yang dinamain zina itu cuma
making love deh?” lanjut Ahmad heran.
“Meskipun zina dalam arti sebenarnya
adalah making love, tapi larangannya juga untuk hal-hal yang bisa menghantarkan
pada zina sebenarnya, seperti pacaran atau berdekatan dengan cewek, kalau iman
tidak kuat ditambah iming-iming dari setan, bisa-bisa bablas deh,” ujarku
dengan gaya seperti orator yang sedang berada diatas podium.
Ahmad cuma bisa mengangguk-angguk, entah
tanda ia tahu atau malah tidak memahami yang kubicarakan barusan. Tapi
anggukannya tidak beratahan lama, karena Dia mulai berbicara lagi, “Lho, Lutfia
kan anaknya Ustadz Taufiq yang terkenal alim dan dia juga alim dan bisa menjaga
diri, masa berdekatan dengannya juga nggak boleh?”
“Lutfia itu berjenis kelamin cewek kan?”
“Iya, tapi kan dia nggak sama dengan cewek
yang lain yang genit” jawab Ahmad seraya menyebutkan nama cewek seperti Melisa,
Dhea, Silvy, Tiara dan lain-lain yang terkenal cantik tapi minim agama.
“Eits, pembicaraan tentang masalah ini
sudah kuanggap selesai karena prinsip tetaplah prinsip, tidak dapat
diubah-ubah,” potongku seraya mengalihkan pembicaraan ke tugas yang belum
selesai.
* * *
Rupanya prinsip yang telah ku pegang teguh
sejak kecil mulai mendapatkan ujian. Banyak teman yang tidak suka kepadaku
menghasut dan menyebarkan isu bahwa aku adalah gay, homoseksual karena aku
tidak mau mendekati seorang cewek pun. Awalnya aku tenang-tenang saja, soalnya
aku tidak ambil pusing dengan apa yang mereka tuduhkan, toh banyak juga yang
tahu sebenarnya. Tetapi, setelah isu itu menyebar tak terkendali sehingga
sekolah-sekolah lain tahu, muncul kemarahanku yang selama ini bagaikan macan yang
sedang tidur. Bagaimana tidak, gara-gara isu itu, nama SMA 18 Mojokerto semakin
tercemar karena menurut pandangan mereka sekolahku yang terkenal bermutu kok
ketua Rohisnya gay.
Sebagai tindak lanjut, kuhubungi redaksi
majalah sekolah agar memasukkan profil tentang diriku disertai dengan ulasan
mengapa aku tidak mau mendekati cewek seperti yang pernah kujelaskan kepada
Ahmad. Tidak hanya sekolahku, sekolah-sekolah lain yang ketua OSIS atau
Rohisnya kukenal, kumintai tolong untuk memberikan info yang sebenarnya tentang
diriku. Aku sangat berterima kasih kepada mereka karena ternyata mereka masih
mempercayaiku meskipun isu yang mencemarkan nama baikku sudah menyebar bak
cendawan saat musim hujan.
Pernyataanku direspon baik oleh mereka
yang telah terhasut. Sebagian dari mereka berusaha menemuiku untuk konfirmasi
dari berita yang telah diterima. Bahkan, ada sekelompok cewek yang berusaha
memojokkan diriku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka seputar hubungan
antara cewek dan cowok dalam Islam dan pertanyaan terakhir sebelum mereka
meminta maaf dan meninggalkanku dengan persaaan segan adalah,” Kalau memang
prinsipmu begitu, apakah kamu nggak pernah deket dengan cewek selamanya?” Tanya
salah seorang dengan wajah penuh harap dan tanpa ragu kujawab dengan
pernyataan, “Prinsipku tidak akan berlaku bagi perempuan yang halal bagiku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar